GEDSI kembali lagi. Kali ini, hadir dalam bentuk Webinar yang dilakukan secara daring. Webinar bertajuk “Pentingnya Integrasi GEDSI di dalam Advokasi Keadilan” telah dilaksanakan pada hari Kamis, 24 Oktober 2024. Ternyata, dalam mengimplementasikan GEDSI kerap muncul beberapa ‘gap’. Mengapa gap sering terjadi saat implementasi GEDSI?
Armayanti Sanusi, Ketua Badan Eksekutif Nasional, Solidaritas Perempuan selaku narasumber pertama yang membuka dan membawakan materi mengenai Integrasi Perspektif GEDSI. Beliau membagikan pandangan berdasarkan perspektif Solidaritas Perempuan, yang menyoroti lemahnya perspektif GEDSI dan Pengarusutamaan Gender (PUG) di dalam kerangka kebijakan ataupun program pembangunan di Indonesia. Salah satu contoh yang mencolok adalah Undang-undang Cipta Kerja yang dinilai tidak mengakomodasi perspektif GEDSI. Dalam proses pembuatannya, partisipasi perempuan secara substansial sering kali diabaikan, baik di tingkat desa maupun nasional.
Narasumber berikutnya, Siti Husna, Advokat, Forum Pengada Layanan, menjelaskan sedikit bagaimana peran hukum mengadvokasi terutama GEDSI untuk perempuan. Beberapa peraturan yang melindungi perempuan, namun belum sepenuhnya diimplementasikan dengan baik. Dalam beberapa kasus saat ini undang-undang terutama undang-undang tindak pidana kekerasan seksual yang sedang diperjuangkan bersama.
Berikut undang-undang terkait perlindungan hukum terhadap perempuan:
1. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW:The Convention On The Elimination Of All Forms of Discrimination against Women);
2. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;
3. UU NO 12 tahun 2022 tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual;
4. Permendikbud ristek No. 30 tahun 2012 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi;
5. UU NO 13 tahun 2003 yang memuat tentang Hak-hak Pekerja Perempuan, yang salah satunya mengenai kesetaraan upah.
Hayati Setia Inten, Koordinator Divisi Reformasi Hukum, Komnas Perempuan menjelaskan mengenai mendorong tantangan, peluang dan strategi integrasi GEDSI dalam kebijakan berdasarkan Komnas Perempuan. Adapun tantangan saat ini dan tantangan pelaksanaan pengarusutamaan gender, yaitu :
1. Kabinet Periode 2024-2029 diisi oleh tujuh kementerian koordinator dan 41 kementerian teknis/ bidang. Potensi inefisiensi, lamban, dan miskoordinasi karena overlapping tugas pokok dan fungsi (sumber: Institute for Development of Economic and Finance/ INDEF).
2. Kerja KPPPA dan Masyarakat Sipil dalam mendorong pengintegrasian Pengarusutamaan Gender (PUG) /kepentingan kelompok rentan bertambah, karena pertambahan jumlah kementerian.
3. Peningkatan kualitas kesejahteraan perempuan dan anak, tidak bisa disimplifikasi dengan peningkatan kesehatan gizi anak-anak, sebatas makan siang gratis dan pelayanan posyandu, serta peran PKK, tetapi berkaitan erat dengan kompleksitas layanan dasar di kota dan desa (pendidikan, transportasi, akses pangan dan air, energi bersih, lingkungan hidup yang bersih, dan lainnya)
Kemudian sesi diskusi dimulai. Dina Riska, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bertanya terkait pengarusutamaan didalam OMS, “Bagaimana cara mengurai atau mengarusutamakan kegiatan-kegiatan keterlibatan perempuan sehingga dapat memberikan dan memaksimalkan hasil? Pertanyaan lain dari Fahrunnisa, Universitas Teknologi Sumbawa (NTB), “Apakah ada strategi yang memungkinkan khusus terminologi GEDSI supaya dapat dipahami dengan lebih sederhana?” Ingin tahu jawabannya, yuk, tonton video di bawah ini.