Pada hari Rabu, tanggal 28 Juli 2021, Yayasan Penabulu kembali menyelenggarakan pelatihan daring bertemakan Pembangunan Budaya Organisasi (Building Organisation Culture), dengan judul “Mendesain dan Menginternalisasi Budaya Organisasi.” Pelatihan dibuka langsung dan dibawakan oleh Pemateri, yaitu Ali Zaenal Abidin yang merupakan Co-founder dari ”I’m On My Way”. Pembukaan sesi pelatihan dimulai dengan perkenalan Pemateri, perkenalan dari keseluruhan 35 orang peserta, termasuk asal domisili dari masing-masing organisasinya, sekaligus membahas Norma Kelas dan kesepakatan sesi tanya jawab langsung dengan menekan tombol raise hand dan open mic maupun melalui chat box dan Q&A.
Setelah itu, Pemateri mulai masuk kepada substansi pelatihan dengan paparan tentang tiga poin pembelajaran (learning point) yang meliputi: (1) Organization Identity; (2) Culture; dan (3) Internalization.
Ali memulai penjabaran ketiga poin tersebut dengan membahas tentang Organization Identity (Zoom Out) yang merupakan Identitas, Elemen, Nama, serta Visual dan berfungsi untuk mengidentifikasi, melakukan/menarik, mencoba dan atau menguji/evaluasi (meyakinkan), pengambilan keputusan jangka pendek, utamanya dalam membangun hubungan. Disampaikan juga tentang unseen reality (fenomena gunung es) dengan mencuplik perkataan dari seorang filsuf sekaligus sufi ternama, yaitu Jalalludin Rumi yang mengatakan “everything you see has will roots in the unseen.” Ali juga menjelaskan bahwa semua hal bisa dinamakan atau diberi nama, baik hal tersebut bisa dilihat secara visual, maupun non-visual.
Pembahasan langsung diikuti dengan sesi tanya-jawab yang beberapa rangkuman dari bahasan di sesi ini antara lain: setiap individu punya keunikan masing-masing (positif); kita mengetahui orang lain karena kita mengenalinya (dinamakan juga “interaksi produktif”); serta penjelasan tentang Quantity vs Quality di mana juga dijelaskan tentang peran dan pembeda antara Refleksi dan/atau Kontemplasi. Di sesi ini, Ali sebagai pemateri juga mengulang sekaligus mempertegas pembahasan tentang hal-hal non-visual/yang tidak terlihat namun dapat dirasakan/disadari keberadaannya dengan menambahkan bahwa pada akhirnya yang dianggap berarti adalah values (nilai/manfaat), serta jasa. Sesi ini ditutup dengan break time selama sekitar 7 menit untuk memberi ruang kepada peserta ‘mengendapkan’ apa yang baru saja mereka serap dalam sesi paparan dan diskusi.
Setelah cukup dengan rehat sejenak, sesi pelatihan dilanjutkan dengan pembahasan tentang Culture (Zoom In) yang definisinya adalah sekumpulan dari nilai-nilai yang diimplementasikan secara konsisten oleh mayoritas atau keseluruhan populasi. Di dalamnya terdapat perilaku (behaviors) yang juga bisa dimaknai sebagai karakter dari budaya. Disampaikan bahwa nilai-nilai (values) bukan sekedar baik atau tidak, namun juga cocok atau tidak karena menyangkut pula dengan karakter, kepribadian dan juga kebiasaan di mana hal-hal ini lah yang juga menuntun perilaku, aksi, dan keputusan yang kita buat. Di ujung pembahasan ditegaskan bahwa mudah untuk menduplikasi produk, tapi tidak mudah melakukannya dengan budaya. Sesi ini ditutup dengan tanya jawab terkait beberapa hal, beberapa yang dibahas di sesi ini antara lain adalah kebijakan mengikuti budaya, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, disampaikan pula bahwa layanan yang diberikan oleh organisasi adalah juga merupakan produk dari budaya yang diinternalisasi.
Pembahasan terakhir tersebut menjadi jembatan untuk segmen terakhir yang membahas tentang Internalization (Super Zoom). Diawali dengan paparan tentang cetak biru untuk internalisasi (blueprint for internalization), maka proses yang berlangsung di dalam suatu organisasi bisa dibagi menjadi dua hal: mesin (engine) dan komunikasi. Engine sendiri dapat dijabarkan menjadi: (a) Proses rekrutmen teknis dan non-teknis yang menyesuaikan dengan nilai organisasi. Patut dicermati bahwa sebaik-baiknya pemilihan adalah orang yang baik secara teknis dan nilai (value). Namun apabila harus memilih yang terburuk, maka minimal kriteria rekrutmen adalah pemilihan yang secara teknis kurang baik namun secara value baik.
Berikutnya adalah tentang Appraisal yang dapat dilakukan dengan mengukur deskripsi/keterangan detail pekerjaan (job desc), juga seberapa jauh staf menerapkan/berkonsentrasi kepada value yang telah ada dan atau didesain di Organisasi. Oleh sebabnya, diperlukan juga tahapan pelatihan dan pengembangan yang mampu membangun kepedulian pada perkembangan organisasi/SDM melalui nilai-nilai yang konsisten, bukan basa-basi, mengedepankan hospitality yang berujung kepada service excellence. Juga perlunya Penghargaan dan Pengakuan terhadap hasil kerja. Keempat hal tersebut merupakan proses di dalam organisasi yang bisa dimaknai sebagaimana mesin (Engine) yang menjaga keselarasan value dan kemudian mengubahnya menjadi Sistem.
Hal yang kedua adalah tentang komunikasi (Communication) yang baik, berlangsung dua arah serta dipraktikkan secara berkelanjutan/reguler dan bukan pengumuman (announcement) semata. Paparan tentang internalisasi dalam organisasi ini ditutup dengan sebuah adagium, yakni ”Action Speaks Louder than Words” yang kemudian diikuti dengan sesi tanya jawab, terkait bebarapa hal di antaranya tentang bahwa Penghargaan dan Pengakuan kaitannya adalah berkaitan erat dengan hierarki dalam organisasi, di mana diberikan contoh bahwa jika terkadang atasan lah yang melakukan pelanggaran, maka akan menciptakan kesenjangan (gap) antara budaya serta value yang tertulis/termuat/tercetak/tertempel. Sesi ini ditutup dengan penyampaian bahwa “pemimpin ideal siap mengambil keputusan terbaik dan adil kendati tidak populer;” yang juga merupakan kata penutup dari Pemateri.
Keseluruhan proses pelatihan ditutup oleh Rukita dari Tim Lingkar Madani dengan menyampaikan terima kasih serta apresiasi atas partisipasi aktif dari seluruh peserta, sekaligus menginformasikan tentang coaching/klinik, juga mengenai jadwal pelatihan selanjutnya dan diakhiri dengan foto bersama.